Geopolitik Energi

December 29, 2008

TEWASNYA BHUTTO: DEMI KEPENTINGAN GEOPOLITIK ENERGI?

Sekitar satu tahun lalu di Pakistan, 27 Desember 2007, hempasan peluru menembus leher Benazir Bhutto, dan kemudian disusul dengan serangan bom bunuh diri dari seorang yang tak dikenal (BBC). Dunia terhentak dengan tewasnya Bhutto, terutama Amerika Serikat (CNN). Pihak Gedung Putih menekankan walau Bhutto tewas, reformasi demokrasi di Pakistan harus tetap dijalankan, yakni pemilu Pakistan yang sebentar lagi tiba. Sepertinya menarik apa yang ditekankan oleh Amerika Serikat (AS) kepada Pakistan.

Bhutto, sebelum peristiwa serangan

Bhutto, sebelum peristiwa serangan

Sekedar untuk diketahui bersama, kembalinya Bhutto dari pengasingan ke Pakistan berkat sponsor AS. Bhutto kembali ke Pakistan pada 18 Oktober 2007, setelah bersepakat dengan Musharraf dimana semua tuduhan dan tuntutan atas korupsi terhadap dirinya dibatalkan. Sebelumnya, pada 27 Januari 2007, Bhutto sempat diundang datang ke Gedung Putih. Ini menandakan bahwa AS menekan Musharraf agar Pakistan terbuka lebar untuk Bhutto. Media AS ternama, Washington Post malah terang-terangan menyebutkan bahwa AS adalah broker (baca: makelar) kembalinya Bhutto ke Pakistan. “The U.S. came to understand that Bhutto was not a threat to stability but was instead the only possible way that we could guarantee stability and keep the presidency of Musharraf intact,” kata Mark Siegel. Siegel adalah pelobi untuk Bhutto di Washington dan banyak menyaksikan kesepakatan di balik diplomasi soal Bhutto. Jika pihak Washington menganggap bahwa Bhutto adalah bukan sebagai ancaman untuk stabilitas kawasan (baca: stabilitas kepentingan AS), lalu Musharraf dianggap apa dong?

Musharraf sejak tahun 2001 (peristiwa 9/11) dikenal yang melibatkan Pakistan sebagai sekutu dekat AS dalam perang melawan terorisme.  Musharraf pun dicaci maki di dalam negerinya sendiri; dituding sebagai boneka AS. Keikutsertaan Pakistan dalam memerangi terorisme sebenarnya adalah hal yang lucu.   Jauh hari sebelum peristiwa 9/11, Pakistan sebenarnya diduga terlibat dalam mensupport logistik hingga pelatihan anggota Taliban di masa Uni Sovyet menduduki Afghanistan. Tak heran, para pelaku peristiwa 9/11 pun banyak yang berasal dari Pakistan.Pelakunya adalah ISI (intelijen Pakistan) dan CIA. (Saya pikir BAKIN juga terlibat mendukung pada masa-masa itu; mengirim orang-orang Indonesia untuk dilatih di Pakistan). Targetnya sama: mengincar Afghanistan demi kepentingan energi  (penting klik KOMPAS). Inilah yang diketahui oleh Bhutto dan suaminya. Bhutto bahkan menuding Musharraf terlibat dalam rangkaian setting intelijen tersebut. Memang agak aneh, padahal Bhutto sendiri dapat kembali ke Pakistan dengan support AS pula. Tapi, itulah politik.

Tidak Ada Teman Abadi, Kecuali Demi Kepentingan Energi

Kedekatan Pakistan pasca 9/11 2001, membuat Pakistan mendapat kucuran dana luar biasa dari AS (whitehouse), diantaranya kucuran dana sebesar 1,5 Miliar USD untuk bidang militer tahun 2005-2009. Belum pula pada tahun 2004, Pakistan dianggap sebagai Major Non-NATO Ally oleh George W. Bush. Itu masih belum seberapa, karena masih banyak kucuran dana yang diterima oleh Pakistan.

Tapi, sesuai sifat alam, angin bisa berubah haluan. Begitu juga sikap politik Pakistan.  Musharraf yang melakukan kudeta militer tahun 1999, mulai dekat dekat dengan Iran dan China. Pakistan ternyata mulai membuka diri untuk proyek bersama pipa gas dari Iran.

rencana jalur pipa Iran-Pakistan-India

Pakistan membuka diri atas rencana  pembangunan pipa gas dari Iran. Pipa itu akan melewati Iran sepanjang  1100 Kilometer, 1000 Kilometer di wilayah Pakistan, dan 600 Kilometer di wilayah India.  Rencana pembangunan jalur pipa ini telah berjalan melalui rangkaian panjang perjanjian antara Iran, Pakistan, dan India sejak tahun 1993.  Pembangunan ini diprediksi memakan biaya sekita 7 Triliun Dollar AS.

Iran sebagai negara produsen gas terbesar di dunia mempunyai kepentingan murni bisnis dan geopolitik untuk pipa ini.  Sementara itu,  Pakistan dan India membutuhkan pasokan energi. Saat ini India mengalami kebangkitan ekonomi, dan tentunya membutuhkan pasokan energi yang tak sedikit.

Musharraf and Rice

Rencana besar ini ternyata membuat Gedung Putih tak suka. Pada tahun 2005-2006, Condolezza Rice sempat melakukan negoisasi dengan sekutu dekatnya (Pakistan dan India) dan menawarkan alternatif saat kunjungannya ke Asia, agar rencana pembangunan pipa gas tak berjalan.

Pembangunan pipa gas tersebut tentu membuat Washington khawatir.  Washington khawatir atas manfaat geopolitik ekonomi yang dipetik oleh Iran, dan khawatir pembangunan pipa tersebut akan berlanjut ke wilayah China. Seperti diketahui, China sebagai naga Asia sedang bangkit; pertumbuhan ekonomi yang melonjak tentu membutuhkan pasokan energi. Washington melihat jelas bahwa China juga berkepentingan dengan pembangunan pipa tersebut.

Yang jelas, tahun ini (2008) Washington sempat merasa berang dan kecolongan dengan lobby Musharraf dengan China. Apalagi jika lobby mengenai pembangunan pipa tersebut. Di dalam pengembangan proyek besar tersebut tentu sangat membutuhkan dana/invetasi besar; China tentu sangat berminat.

Walaupun Washington berang, rencana tetap berjalan. Tapi, kali ini dengan India menunda keinginannya; karena desakan Washington. Rencananya, pembangunan ini akan tetap dilanjutkan dan selesai pada tahun 2011-an.

Bhutto, Pakistan, AS, dan China

Melihat uraian di atas, Benazir Bhutto sepertinya tidak memperhitungkan kondisi “permainan” geopolitik kawasan yang sedang berkembang.  Kepentingan nasional Pakistan (jelas ada), Iran, dan China telah jelas masuk di Pakistan. Bhutto sepertinya menjebloskan dirinya sendiri dan didorong AS untuk masuk jurang kematian.

Apalagi kedatangan Bhutto dengan jelas disponsori oleh AS mengatasnamakan “demi demokrasi.” AS seperti terlihat dengan jelas memanfaatkan Bhutto untuk pengamanan kepentingan geopolitiknya. Banyak pihak pun tidak nyaman melihat kedatangan Bhutto di Pakistan. Sebut saja: di internal Pakistan sendiri, Iran, dan China. Akhirnya, permainan pun dimulai, dengan nyawa manusia menjadi tumbalnya. AS juga terlibat.

Kematian Bhutto memang menyedihkan. Tapi, lebih menyedihkan jika terdapat banyak kepentingan yang menyebabkan Bhutto tewas.*****

Tulisan lain terkait:

Beberapa Referensi:

April 11, 2007

TERORISME DAN PIPA MIGAS

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/15/utama/183657.htm

KOMPAS, Sabtu, 15 Maret 2003

Antara Afganistan dan Pakistan

Maruli Tobing

SALAH satu kekeliruan utama kita memahami masalah terorisme internasional adalah mengidentikkannya dengan Afganistan. Sedangkan Afganistan sebelum serangan Amerika Serikat (AS) identik dengan sosok Osama bin Laden dan Mullah Omar berikut organisasinya, Al Qaeda dan Taliban. Lantas dalam persepsi kita muncul panorama mileniarisme dengan penekanan yang berlebihan pada penggunaan kekerasan absolut. Teknologi informasi kemudian mentransformasikannya hingga mirip perang peradaban.

Masyarakat internasional yang terjangkit paranoia menjawabnya dengan menabuh genderang perang.
Sementara AS dan sekutunya melakukan perburuan internasional.
Setelah peristiwa 11 September 2001, perburuan ini tidak lagi mengenal batas-batas kedaulatan negara. Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menyebutnya sebagai bagian dari perang melawan terorisme internasional. Proses perubahan begitu cepat dan mendadak sebelum sempat kita memahaminya. Rakyat di negara-negara miskin yang tadinya bergelut melawan ketidakadilan yang ditimbulkan sistem perdagangan Barat tiba-tiba melihat dirinya berada di bibir jurang, yang disebut terorisme.

Berbarengan dengan itu, demokrasi dan keterbukaan yang selama ini dikumandangkan sebagai landasan tata dunia baru tenggelam ke dasar lautan kecemasan. Dunia seakan berada di ujung kiamat oleh ancaman senjata nuklir dan biologi Al Qaeda yang tidak pernah ada itu. Bayang-bayang perang peradaban makin dekat di pelupuk mata. Namun, apakah mungkin Afganistan, yang mayoritas rakyatnya buta huruf dan usia harapan hidup rata-rata 48 tahun, begitu hebatnya hingga mampu mengobarkan perang peradaban? Lebih khusus lagi, apakah mungkin Osama bin Laden yang tinggal di goa-goa di daerah Pegunungan Kundush memicu perang peradaban melalui Al Qaeda dan jaringan sel-selnya?

SATU hal yang tidak banyak dibicarakan adalah posisi Afganistan dalam lingkup kepentingan geostrategi kawasan. Iran dan Pakistan sudah sejak lama mengincar negeri ini sebagai akses ke negara-negara Asia Tengah yang kaya minyak bumi. Iran tidak bisa berbuat banyak karena penganut Shiah hanya minoritas di Afganistan. Gerak Iran akan mengundang pembalasan kelompok Sunni. Taliban, misalnya, pernah membantai ribuan warga Shiah untuk menyenangkan Arab Saudi dan Pakistan. Bagi Pakistan, selain akses ekonomi, pembentukan pemerintahan boneka di Afganistan sangat penting untuk meredam kekecewaan suku Pashton, di provinsi barat laut, berbatasan dengan Afganistan. Sejak lama mereka ingin memisahkan diri dari Pakistan. Di Afganistan sendiri, masyarakat Pashton merupakan mayoritas. Jauh sebelum invasi Soviet, direktorat intelijen Pakistan, Inter-Services Inteligence (ISI), sudah melakukan aktivitas subversi di Afganistan. Dari perbatasan Pakistan, para pembangkang seperti Hekmatyar dan mantan Presiden Rabbani melancarkan perang gerilya. ISI menyiapkan instruktur militer, senjata, di samping sekaligus mengudarakan siaran radio Afganistan Bebas.

Hal yang sama dilakukan Pakistan terhadap tetangganya, India. Invasi Soviet akhir tahun 1970-an merupakan keberuntungan bagi Pakistan. Presiden Pakistan Jenderal Zia ul-Haq, yang tadinya dikecam Barat sebagai algojo haus darah, tiba-tiba mendapat sanjungan. AS menyebut pemerintahan Pakistan saat itu sebagai sahabat di garis depan. Sebutan baru itu membuat Pakistan bergelimang dollar AS dan rial. Untuk mempersenjatai mujahidin saja, misalnya, AS mengeluarkan sedikitnya 3,5 milyar dollar. Distribusi senjata dan pelatihan dikendalikan ISI. Awal tahun 1980 muncul gagasan Jenderal Zia untuk membentuk front Islam internasional. Dengan dalih melawan komunisme internasional, Washington menyetujui usulan tersebut. Melalui jaringan CIA, kekejaman Tentara Merah di Afganistan dipropagandakan ke seluruh dunia. Dalam sekejap solidaritas Islam internasional terbentuk. Ribuan sukarelawan mengalir dari Timur Tengah, Afrika, dan Asia. Apalagi kemudian ditampilkan sosok Osama bin Laden, milyarder yang rela hidup di Pegunungan Kundush yang gersang untuk memenuhi panggilan jihad.

TIDAK lama setelah Soviet menarik pasukannya, rezim Babrak Karmal mengalami disintegrasi. Pasukan Jamiat-i-Islami yang dipimpin Akhmad Shah Massoud merebut Kabul tahun 1993. Pemerintah transisional dibentuk dengan menunjuk Rabbani sebagai presiden.Pakistan kecewa karena pemerintahan Presiden Rabbani didominasi suku Tajik yang anti-Pakistan. Tadinya Pakistan mengharapkan Hekmatyar sebagai presiden.Atas desakan Pakistan, milisi yang dipimpin Hekmatyar mengepung Kabul. Selama empat bulan kota ini dihujani roket. Kabul hancur total. Sedikitnya 20.000 penduduk tewas. Tidak berhasil dengan cara itu, tahun 1994 Perdana Menteri (PM) Benazir Bhutto menyetujui pembentukan Taliban. Lebih separuh anggotanya direkrut dari berbagai pesantren di Pakistan. Arab Saudi yang khawatir atas ekspansi Shiah Iran mengalirkan dana bagi Taliban. Sementara AS yang kecewa terhadap pemerintahan Rabbani secara diam-diam mendukung gerakan Taliban melalui Pakistan.

Kekecewaan AS memuncak setelah perusahaan minyak AS, Unicol, tidak dimenangkan dalam tender pembangunan jaringan pipa minyak trans Asia Tengah-Pakistan.Taliban berhasil merebut Kabul tahun 1996. Pada waktu itu pula, sesuai dengan instruksi ISI, Mullah Omar mengundang Osama bin Laden memindahkan markasnya di Sudan ke Afganistan. Kemenangan Taliban membuka jalan bagi ISI untuk melanjutkan kegiatan penyelundupan barang-barang mewah dari Dubai dan Iran ke Pakistan. Selain itu, jaringan ISI kembali mengusai produksi heroin di Afganistan. Sebaliknya, seperti diungkapkan Ahmed Rashid dalam bukunya, Taliban, Washington lagi-lagi kecewa. Setelah lebih dari tiga tahun menunggu, rezim Taliban belum juga memberi lampu hijau bagi perusahaan minyak Unicol. AS mulai hilang kesabarannya. Awal tahun 2000, AS memasukkan Taliban dalam daftar pemerintah sponsor teroris internasional.

SETELAH runtuhnya pemerintahan dukungan komunis di Kabul, otomatis sukarelawan asing meninggalkan Afganistan. Namun, ISI berusaha memanfaatkan mereka dalam sengketanya dengan India, berkaitan dengan status Jammu dan Kashmir. Dalam hal ini, ISI gagal menginternasionalisasikan konflik wilayah perbatasan itu. Tidak banyak yang tertarik berjihad di sana. Padahal, ISI memberi imbalan dalam bentuk uang kepada warga Muslim dari negara lain yang berjuang di Jammu dan Kashmir wilayah
India.
Laporan majalah Jane’s Intelligence (5 Oktober 2001) menyebut, ISI membayar 400.000 – 500.000 rupee (atau sekitar Rp 36 juta-Rp 45 juta) untuk kontrak dua tahun bagi orang asing yang berjihad di Jammu dan Kashmir. Mereka juga diasuransikan 200.000 – 300.000 rupe. Bagi yang berhasil membunuh pasukan India, diberi bonus khusus. Kelompok-kelompok milisi fundamentalis Pakistan yang tadinya berperang melawan Soviet ikut dialihkan ke Jammu-Kashmir. Termasuk di antaranya Jaish-e-Muhammad (JEM), Lashkar-e-Toiba (LET), Lashkar-e-Jhangvi (LEJ), dan Harkat-ul-Jihad-al-Islami (HUJI).

Kelompok milisi ini masing-masing mempunyai kamp latihan militer di Pakistan maupun Afganistan. ISI menyediakan pelatih dan senjata. Seusai latihan, mereka diterjunkan ke India untuk melakukan aksi terorisme. Desember 1999, Pemerintah India terpaksa membebaskan Maulana Masood Azhar bersama tiga rekannya setelah kader JEM membajak Air India yang mengangkut 155 penumpang. Pesawat itu dipaksa mendarat di Kandahar. Pembajak menuntut pembebasan keempat orang tersebut dari penjara
India.
Maulana Azhar, pemimpin JEM, disebut-sebut mempunyai hubungan langsung dengan ISI. Ia juga dekat dengan Osama bin Laden. Bersama rombongan Al Qaeda, Maulana Azhar ikut memerangi tentara AS di Somalia. Selain itu, ia juga melatih sel-sel pendukung Al Qaeda di Sudan.Sementara itu, Omar Sheikh, juga aktivis JEM yang ditangkap Februari 2002 dalam kasus penculikan dan pembunuhan Daniel Pearl (wartawan Wall Street Journal), pernah mentransfer 100.000 dollar AS kepada Muhamad Atta, pembajak dalam serangan 11 September 2001. Perintah transfer uang datang dari Letjen Muhamad Ahmed, Kepala ISI. Jadi, tidak mengherankan jika Ramzi Yousef, otak peledakan bom Gedung World Trade Center (WTC) New York tahun 1993 ditangkap di Peshawar (1995), kota yang berbatasan dengan Afganistan. Peristiwa itu jauh sebelum Bin Laden mengeluarkan fatwa perang melawan AS dan Israel (1998). Sejumlah figur penting Al Qaeda juga ditangkap di Pakistan, termasuk Abu Zubayda dan Muhamed Abdullah Binalshibh. Baru-baru ini giliran Khalid Sheikh Mohamed, paman Ramzi Yousef, asal Provinsi Baluchistan (Pakistan), dibekuk di Pakistan. Ia disebut-sebut perencana utama serangan 11 September. Namun, mengapa Pakistan tidak dimasukkan dalam daftar sponsor teroris internasional? Inilah misteri “perang melawan terorisme”. (Maruli Tobing)

Artikel lain yang terkait (klik aja):

Create a free website or blog at WordPress.com.