Geopolitik Energi

April 11, 2007

TERORISME DAN PIPA MIGAS

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/15/utama/183657.htm

KOMPAS, Sabtu, 15 Maret 2003

Antara Afganistan dan Pakistan

Maruli Tobing

SALAH satu kekeliruan utama kita memahami masalah terorisme internasional adalah mengidentikkannya dengan Afganistan. Sedangkan Afganistan sebelum serangan Amerika Serikat (AS) identik dengan sosok Osama bin Laden dan Mullah Omar berikut organisasinya, Al Qaeda dan Taliban. Lantas dalam persepsi kita muncul panorama mileniarisme dengan penekanan yang berlebihan pada penggunaan kekerasan absolut. Teknologi informasi kemudian mentransformasikannya hingga mirip perang peradaban.

Masyarakat internasional yang terjangkit paranoia menjawabnya dengan menabuh genderang perang.
Sementara AS dan sekutunya melakukan perburuan internasional.
Setelah peristiwa 11 September 2001, perburuan ini tidak lagi mengenal batas-batas kedaulatan negara. Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menyebutnya sebagai bagian dari perang melawan terorisme internasional. Proses perubahan begitu cepat dan mendadak sebelum sempat kita memahaminya. Rakyat di negara-negara miskin yang tadinya bergelut melawan ketidakadilan yang ditimbulkan sistem perdagangan Barat tiba-tiba melihat dirinya berada di bibir jurang, yang disebut terorisme.

Berbarengan dengan itu, demokrasi dan keterbukaan yang selama ini dikumandangkan sebagai landasan tata dunia baru tenggelam ke dasar lautan kecemasan. Dunia seakan berada di ujung kiamat oleh ancaman senjata nuklir dan biologi Al Qaeda yang tidak pernah ada itu. Bayang-bayang perang peradaban makin dekat di pelupuk mata. Namun, apakah mungkin Afganistan, yang mayoritas rakyatnya buta huruf dan usia harapan hidup rata-rata 48 tahun, begitu hebatnya hingga mampu mengobarkan perang peradaban? Lebih khusus lagi, apakah mungkin Osama bin Laden yang tinggal di goa-goa di daerah Pegunungan Kundush memicu perang peradaban melalui Al Qaeda dan jaringan sel-selnya?

SATU hal yang tidak banyak dibicarakan adalah posisi Afganistan dalam lingkup kepentingan geostrategi kawasan. Iran dan Pakistan sudah sejak lama mengincar negeri ini sebagai akses ke negara-negara Asia Tengah yang kaya minyak bumi. Iran tidak bisa berbuat banyak karena penganut Shiah hanya minoritas di Afganistan. Gerak Iran akan mengundang pembalasan kelompok Sunni. Taliban, misalnya, pernah membantai ribuan warga Shiah untuk menyenangkan Arab Saudi dan Pakistan. Bagi Pakistan, selain akses ekonomi, pembentukan pemerintahan boneka di Afganistan sangat penting untuk meredam kekecewaan suku Pashton, di provinsi barat laut, berbatasan dengan Afganistan. Sejak lama mereka ingin memisahkan diri dari Pakistan. Di Afganistan sendiri, masyarakat Pashton merupakan mayoritas. Jauh sebelum invasi Soviet, direktorat intelijen Pakistan, Inter-Services Inteligence (ISI), sudah melakukan aktivitas subversi di Afganistan. Dari perbatasan Pakistan, para pembangkang seperti Hekmatyar dan mantan Presiden Rabbani melancarkan perang gerilya. ISI menyiapkan instruktur militer, senjata, di samping sekaligus mengudarakan siaran radio Afganistan Bebas.

Hal yang sama dilakukan Pakistan terhadap tetangganya, India. Invasi Soviet akhir tahun 1970-an merupakan keberuntungan bagi Pakistan. Presiden Pakistan Jenderal Zia ul-Haq, yang tadinya dikecam Barat sebagai algojo haus darah, tiba-tiba mendapat sanjungan. AS menyebut pemerintahan Pakistan saat itu sebagai sahabat di garis depan. Sebutan baru itu membuat Pakistan bergelimang dollar AS dan rial. Untuk mempersenjatai mujahidin saja, misalnya, AS mengeluarkan sedikitnya 3,5 milyar dollar. Distribusi senjata dan pelatihan dikendalikan ISI. Awal tahun 1980 muncul gagasan Jenderal Zia untuk membentuk front Islam internasional. Dengan dalih melawan komunisme internasional, Washington menyetujui usulan tersebut. Melalui jaringan CIA, kekejaman Tentara Merah di Afganistan dipropagandakan ke seluruh dunia. Dalam sekejap solidaritas Islam internasional terbentuk. Ribuan sukarelawan mengalir dari Timur Tengah, Afrika, dan Asia. Apalagi kemudian ditampilkan sosok Osama bin Laden, milyarder yang rela hidup di Pegunungan Kundush yang gersang untuk memenuhi panggilan jihad.

TIDAK lama setelah Soviet menarik pasukannya, rezim Babrak Karmal mengalami disintegrasi. Pasukan Jamiat-i-Islami yang dipimpin Akhmad Shah Massoud merebut Kabul tahun 1993. Pemerintah transisional dibentuk dengan menunjuk Rabbani sebagai presiden.Pakistan kecewa karena pemerintahan Presiden Rabbani didominasi suku Tajik yang anti-Pakistan. Tadinya Pakistan mengharapkan Hekmatyar sebagai presiden.Atas desakan Pakistan, milisi yang dipimpin Hekmatyar mengepung Kabul. Selama empat bulan kota ini dihujani roket. Kabul hancur total. Sedikitnya 20.000 penduduk tewas. Tidak berhasil dengan cara itu, tahun 1994 Perdana Menteri (PM) Benazir Bhutto menyetujui pembentukan Taliban. Lebih separuh anggotanya direkrut dari berbagai pesantren di Pakistan. Arab Saudi yang khawatir atas ekspansi Shiah Iran mengalirkan dana bagi Taliban. Sementara AS yang kecewa terhadap pemerintahan Rabbani secara diam-diam mendukung gerakan Taliban melalui Pakistan.

Kekecewaan AS memuncak setelah perusahaan minyak AS, Unicol, tidak dimenangkan dalam tender pembangunan jaringan pipa minyak trans Asia Tengah-Pakistan.Taliban berhasil merebut Kabul tahun 1996. Pada waktu itu pula, sesuai dengan instruksi ISI, Mullah Omar mengundang Osama bin Laden memindahkan markasnya di Sudan ke Afganistan. Kemenangan Taliban membuka jalan bagi ISI untuk melanjutkan kegiatan penyelundupan barang-barang mewah dari Dubai dan Iran ke Pakistan. Selain itu, jaringan ISI kembali mengusai produksi heroin di Afganistan. Sebaliknya, seperti diungkapkan Ahmed Rashid dalam bukunya, Taliban, Washington lagi-lagi kecewa. Setelah lebih dari tiga tahun menunggu, rezim Taliban belum juga memberi lampu hijau bagi perusahaan minyak Unicol. AS mulai hilang kesabarannya. Awal tahun 2000, AS memasukkan Taliban dalam daftar pemerintah sponsor teroris internasional.

SETELAH runtuhnya pemerintahan dukungan komunis di Kabul, otomatis sukarelawan asing meninggalkan Afganistan. Namun, ISI berusaha memanfaatkan mereka dalam sengketanya dengan India, berkaitan dengan status Jammu dan Kashmir. Dalam hal ini, ISI gagal menginternasionalisasikan konflik wilayah perbatasan itu. Tidak banyak yang tertarik berjihad di sana. Padahal, ISI memberi imbalan dalam bentuk uang kepada warga Muslim dari negara lain yang berjuang di Jammu dan Kashmir wilayah
India.
Laporan majalah Jane’s Intelligence (5 Oktober 2001) menyebut, ISI membayar 400.000 – 500.000 rupee (atau sekitar Rp 36 juta-Rp 45 juta) untuk kontrak dua tahun bagi orang asing yang berjihad di Jammu dan Kashmir. Mereka juga diasuransikan 200.000 – 300.000 rupe. Bagi yang berhasil membunuh pasukan India, diberi bonus khusus. Kelompok-kelompok milisi fundamentalis Pakistan yang tadinya berperang melawan Soviet ikut dialihkan ke Jammu-Kashmir. Termasuk di antaranya Jaish-e-Muhammad (JEM), Lashkar-e-Toiba (LET), Lashkar-e-Jhangvi (LEJ), dan Harkat-ul-Jihad-al-Islami (HUJI).

Kelompok milisi ini masing-masing mempunyai kamp latihan militer di Pakistan maupun Afganistan. ISI menyediakan pelatih dan senjata. Seusai latihan, mereka diterjunkan ke India untuk melakukan aksi terorisme. Desember 1999, Pemerintah India terpaksa membebaskan Maulana Masood Azhar bersama tiga rekannya setelah kader JEM membajak Air India yang mengangkut 155 penumpang. Pesawat itu dipaksa mendarat di Kandahar. Pembajak menuntut pembebasan keempat orang tersebut dari penjara
India.
Maulana Azhar, pemimpin JEM, disebut-sebut mempunyai hubungan langsung dengan ISI. Ia juga dekat dengan Osama bin Laden. Bersama rombongan Al Qaeda, Maulana Azhar ikut memerangi tentara AS di Somalia. Selain itu, ia juga melatih sel-sel pendukung Al Qaeda di Sudan.Sementara itu, Omar Sheikh, juga aktivis JEM yang ditangkap Februari 2002 dalam kasus penculikan dan pembunuhan Daniel Pearl (wartawan Wall Street Journal), pernah mentransfer 100.000 dollar AS kepada Muhamad Atta, pembajak dalam serangan 11 September 2001. Perintah transfer uang datang dari Letjen Muhamad Ahmed, Kepala ISI. Jadi, tidak mengherankan jika Ramzi Yousef, otak peledakan bom Gedung World Trade Center (WTC) New York tahun 1993 ditangkap di Peshawar (1995), kota yang berbatasan dengan Afganistan. Peristiwa itu jauh sebelum Bin Laden mengeluarkan fatwa perang melawan AS dan Israel (1998). Sejumlah figur penting Al Qaeda juga ditangkap di Pakistan, termasuk Abu Zubayda dan Muhamed Abdullah Binalshibh. Baru-baru ini giliran Khalid Sheikh Mohamed, paman Ramzi Yousef, asal Provinsi Baluchistan (Pakistan), dibekuk di Pakistan. Ia disebut-sebut perencana utama serangan 11 September. Namun, mengapa Pakistan tidak dimasukkan dalam daftar sponsor teroris internasional? Inilah misteri “perang melawan terorisme”. (Maruli Tobing)

Artikel lain yang terkait (klik aja):

1 Comment »

  1. thanks atas informasinya sedikit mejawab pertanyaan sy: kenapa AS mengincar Afganistan

    Comment by ikwanti — March 2, 2009 @ 8:12 am | Reply


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.